Andai.. ..
Andai kalian tahu..
Betapa tidak mudahnya berjuang
sendirian..
Rintik
hujan tak lagi sehebat beberapa waktu lalu. Ia bermetamorfosa menjadi derai
lembut yang masih setia membasahi tanah. Membekaskan jejak-jejak basah yang
bergulir di sepanjang permukaannya.
Jendela
kamarnya masih terbuka meski malam kian larut. Ia menghela nafas panjang, lalu
tertunduk. Cukup lama hingga matanya berkaca-kaca. Meski aku hanya mengamati
pemandangan miris ini, tapi aku tahu bahwa ada perih yang mungkin tak sanggup ia
rasakan. Ada yang sengaja tertahan di sana. Yang hampir
tumpah. Di pelipis matanya yang indah. Ntah sudah kali ke berapa pemilik
senyuman manis itu terduduk dengan wajah layunya di sana.
Hey
Nona. Sampai kapan dirimu begini?
Menarik
diri dari permukaan. Sungguh, Aku takkan ridho melihat saudariku seperti ini.
Siapapun yang membuatmu begini, semoga Allah membalas dengan balasan yang
setimpal.
Aku
mencoba mendekat. Semakin dekat.
“Andai
dia tahu.” katanya lirih. Matanya semakin berkaca-kaca. Tatapan matanya kosong.
Seakan ia mempertegas bahwa ternyata kecewa seperih ini.
Aku
hanya menatapnya nanar. Nona. Aku paham.
Ini
bukan tentang sebuah posisi. Bukan pula tentang sebuah tempat penentu
kebijakan. Tapi ini tentang kepercayaan. Kepercayaan bahwa sahabatmu takkan
membuangmu begitu saja. Bahwa sahabatmu takkan mungkin lupa dengan perjuanganmu
yang baru kemarin. Percaya bahwa teori kacang
lupa kulitnya atau keoang lupa
rumahnya itu takkan berlaku bagi orang yang melabelkan diri menjadi
sahabat. Ini tentang Pengorbanan. Pengorbanan dari seorang sahabat untuk
sahabatnya yang dipercaya. Pengorbanan yang tak semua orang mau berkorban
membantu.
Bahwa
setiap pencapaian itu ada proses yang tak mudah untuk dilalui. Dan mungkin kau
tak tahu, tidak semua kawanmu mau membantu melewati proses yang tak mudah itu.
Hei, Harusnya kau hargai itu!
“Betapa
tidak mudahnya berjuang sendirian. Ke mana mereka saat aku butuh bantuan untuk?”
ia melanjutnya ucapannya
dengan lirihnya. mereka tak tahu betapa perih hatinya saat Nona Manis
mempertanyakan itu. Hingga untuk kesekian kalinya, Nona Manis berhasil menahan
aliran air mata yang hendak menjebol pertahanannya.
“Andai kau tahu. Andai mereka tahu.
Andai kalian tahu. Betapa tidak semudah itu berjuang sendirian. Bahwa ini tak
sesederhana seperti yang kalian pikirkan. Bahwa ini bukan tentang posisi, bukan
pula tentang siapa yang ditakdirkan dan siapa yang tak ditakdirkan” Aku
membatin.
Aku
menjatuhkan diri di sampingnya. Kugenggam erat jari jemarinya yang mungil. Kubiarkan
bahu ini menjadi tempat bersandar.
“Allah
sedang merajut takdir terindah untukmu, Nona” kataku. Aku memeluk erat Nona
Manis. Kuhapus air matanya yang terus mengalir deras di pipinya yang ranum.
Komentar
Posting Komentar