Bagian I : Kala Cinta-Nya Menyapa

“Terima kasih atas pelajaran-pelajaran indah yang pernah kau berikan untukku. Karena jika pelajaran-pelajaran indah itu tidak kau berikan, aku tak akan pernah menjadi seperti aku yang sekarang”

----- 

Rintik hujan tak lagi sehebat beberapa waktu lalu. Ia menjelma menjadi derai lembut yang masih setia membasahi tanah. Membekaskan jejak-jejak basah di sepanjang permukaannya. Meski malam kian larut, jendela kamarnya masih terbuka lebar. Ia menghela nafas panjang, lalu tertunduk. Cukup lama hingga matanya berkaca-kaca. Aku yakin, ada yang sengaja tertahan di sana. Yang hampir tumpah. Di pelipis matanya yang indah. Entah sudah kali ke berapa pemilik senyuman manis itu terduduk dengan wajah layunya di sana. Pemandangan yang membuat hatiku miris ini mengingatkanku akan kejadian beberapa waktu lalu.

.

Siang itu aku terduduk di taman sekitar kampus. Menikmati semilir angin yang terus menyapa sambil di temani segelas es teh manis.

Bruuuk!!

Tubuh kecilnya menabrak setiap orang yang dilaluinya. Buku-bukunya berserakan di tanah. Gadis pemilik senyum manis itu terjatuh. Seperti tak menghiraukan yang lain. Yang sedari tadi mengejar-ngejar dirinya. Kiky. Berlari menghampiri gadis itu. Sementara aku hanya mengamati pemandangan sepasang remaja ini. Meski nona manis teman baikku. Aku takkan banyak bicara jika tak diminta.

“Nona….” Panggilnya. Kiky menghampirinya dengan nafas terengah-engah. “jangan lari. Dengerin penjelasan aku dulu.” Katanya. Kiky semakin mendekat. Namun nona manis seolah enggan berurusan dengannya. Ia hanya diam mematung dengan air mata yang mengalir deras di pipinya yang ranum. “kamu tau kan, semua yang ada di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak? Termasuk keadaan kita”

Nona manis hanya menjatuhkan diri ke bangku. Sesekali ia mengusap air matanya yang terus mengalir. Tanpa suara.

“Status kita sekarang. Nggak ada pacaran dalam Islam. Aku enggak mau bikin Allah cemburu” Kiky mempertegas.

“Lalu menurutmu, apa yang kamu lakukan tadi enggak bikin Allah cemburu?” Nona manis membalikkan badan. Dari tatapan matanya seakan ia mempertegas bahwa apa yang Kiky katakan tak sesuai.

“Tadi? Aku lakuin apa?” tanyanya bingung.

“Apa yang kamu lakukan dengan Sekar tadi? Sampai kamu harus datang ke kampus berdua dengannya, memboncengnya?! Untuk pertama kalinya nona membentak.

“Nonaa. Nggak usah bawa-bawa Sekar dalam masalah kita. Please” kata laki-laki yang menjabat sebagai Ketua Himpunan di jurusannya. ia menarik nafas panjang “Aku mau kita mewujudkan cita-cita kita dulu. Aku jadi Ahli dalam bidang yang aku inginkan. Kamu pun begitu. 4 tahun lagi, izinkan aku yang akan menggenapkanmu. Yang akan memberikan mahar buat kamu. Jaga hati kamu, jaga sikap kamu, jaga pakaian kamu. Jadilah muslimah yang tidak mengecewakan. Karena sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita sholeha” jelasnya. Aku hanya mengamati mereka. Kata-kata Kiky lebih religius dari biasanya.

Tak ada yang menarik atau istimewa. Itulah kesanku pertama kali melihat sosoknya, saat pemilihan Ketua Himpunan di jurusaanku. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Muhammad Ricky Setiadi. Kiky. Itulah sapaannya. Dia hanyalah lelaki biasa seperti kebanyakan lelaki lainnya. Hanya saja penampilannya sedikit lebih religius dibanding teman-temannya. Seperti kebanyakan anak betawi lainnya, Kiky berkulit putih bersih, badannya kekar tetapi agak pendek dibanding teman-temannya. Mungkin ini yang menjadi magnet bagi gadis pemilik senyuman manis itu, Nona manis. Aku memanggilnya begitu.

..

“Aah.. Cukup!” Nona membentaknya. “aku mulai mengerti sama ucapan kamu, sama sikap kamu. Semuanya. Aku mengerti” katanya lirih. Sesekali air matanya masih terlihat di sana. Di pipinya.

“Kamu jangan takut, Nona. Kalau memang cinta kita karena Allah, Allah akan mempersatukan kita dengan cara-NYA yang lebih baik. Insya Allah” Kiky hanya tersenyum. Mengambil kotak yang dibalut dengan kertas merah maroon dari dalam tasnya. Lalu menaruh kotak itu di samping Nona. Dan berlalu begitu saja. Meninggalkannya sendiri. Tanpa suara. Tanpa pamit.

Nona terdiam.  Hening. Tak ada suara. Hanya sesekali terdengar isak tangis. Yah, Nona menangis sejadi-jadinya. Bulir-bulir air mata mengalir deras membasahi pipinya yang ranum. Setelah mengambil kotaknya, ia bangkit dari duduknya kemudian pergi. Seperti menyimpan kecewa, ia berjalan dengan sedikit lunglai. Tenaganya seolah ikut larut bersama rintik hujan.

***

Bulan di ujung langit kamar Nona tampak redup. Seperti redupnya cahaya yang terpancar dari matanya. Ia menundukkan kepalanya nyaris menyentuh sajadah. Ada rasa kecewa di sana. Ada perih di hatinya yang mungkin tak sanggup ia rasakan. Aku mendekat. Kugenggam erat jari jemarinya yang mungil. Kupersilakan pundak ini menjadi tempat bersandar.

 “Kenapa dia setega ini?” katanya lirih. Matanya semakin berkaca-kaca. Tatapan matanya kosong. Seakan ia mempertegas bahwa ternyata kecewa seperih ini.

“Allah sedang merajut takdir terindah untukmu, Nona” kataku pelan. Aku memeluk erat Nona manis. Hingga keeratannya mengalahkan dinginnya malam yang merasuk melewati celah dinding kamarnya.

Aku tahu. Cinta mungkin tak akan berlangsung selamanya. Tapi ia akan tetap bertahan. Bertahan begitu kuat. Hingga pada akhirnya, waktu yang akan menguak bahwa dia yang kamu cintai ternyata mengkhianati. Aku bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Kiky begitu tega melakukan ini? 2 tahun Nona bersamanya, bukan waktu yang singkat dan tidak mudah untuk melupakannya sesingkat itu. Namun ada syukur yang terselip. Bersyukur karena sahabatku bisa meninggalkan aktivitas pacarannya.

Sesaat aku teringat perkataannya, muslimah yang tidak mengecewakan. Apa maksudnya? Aah.. mungkin jawabannya ada di dalam kotak merah maroon pemberian laki-laki itu.

“Nona.. Coba buka kotak dari Kiky deh” kataku pelan. Sambil menaruh kotak merah maroon itu di pangkuannya.

Kotak merah maroon itu dibukanya perlahan. Sebuah buku tebal di sana. Covernya bertuliskan La tahzan, Innallaha maa anna. Dan sepucuk surat berwarna putih:

“Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu. Allah punya segala macam cara dan segala macam perantara untuk menyadarkan kita. Karena Allah Maha Besar. Lupakanlah memang bila harus dilupakan. Ingatlah memang bila harus diingat. Jika ingin kembali dipersatukan maka pantaskanlah diri. Terus samakan amal” – Muhammad Ricky Setiadi-

Nona hanya menatap suratnya nanar.

“Eh.. Nona. Liat ada plastik di dalam kotak.” Kataku sambil mengambil plastik  di dalam kotak merah maroon itu. “coba buka, Non” kataku penasaran. Ia membuka plastik itu dengan cepat.

Aku tertegun. Melihat isi plastik itu. 2 potong blus panjang, rok panjang, khimar, kaos kaki lengkap dengan manset tangannya tertata rapi di sana. Semuanya berwarna merah maroon. Sesuai dengan warna kesukaannya.

“Mawar..” panggilnya pelan. “apa maksudnya ini?” matanya berkaca-kaca. Ia menatapku kosong.

Aku menarik nafas panjang. Mencoba menjawab pertanyaannya. Tapi kali ini aku harus lebih hati-hati.

“Masih ingat sama kata-katanya Kiky kan, Nona? Sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita sholeha. Menurutmu, wanita sholeha itu yang seperti apa?” tanyaku hati-hati.

“Yang seperti kamu, Mawar.”

“Loh, kok kayak aku?” tanyaku bingung.

“Iya. Yang pakaiannya seperti kamu. Yang pakai kerudung lebar. Pakainya rok. Ke mana-mana pakai kaos kaki walau gak lagi kedinginan.”

“Nah. Itu pointnya. Allah pengen kamu menutup aurat. Allah pengen kamu hijrah, Nona. Lewat pemberian Kiky”

“Hijrah? Tapi kenapa harus dengan cara yang menyakitkan seperti ini, Mawar? Apa aku terlalu hina sampai ditegur dengan cara seperti ini?” matanya kembali berkaca-kaca.

“Kan Allah punya banyak cara dan banyak perantara untuk menyadarkan kita.” Aku menarik nafas panjang. “Bukankah Allah memberikan cobaan hanya sebatas kapasitas kemampuan kita sebagai manusia? Bukankah orang hebat ujiannya juga hebat?” aku tersenyum. Menatap gadis pemilik senyum manis itu dengan lembut. “Allah pilih kamu yang dapat ujian ini. Karena kamu adalah wanita pilihan yang Allah kuatkan” aku meyakinkannya.

Nona manis terdiam. Wajahnya tampak layu.

Aku membiarkan pemandangan yang kulihat berlalu. Memberikannya waktu untuk menyendiri. Hingga berhari-hari sosok pemilik senyum manis itu tak kunjung kutemui di kampus.

.

Pagi ini di kala mentari menyapa seisi bumi dengan kehangatannya, Aku menginjakkan kakiku di sepanjang jalan setapak kampus tercinta. Aku terheran. Nona manis terduduk anggun dengan balutan Jilbab Syar’I merah maroonnya. Di sana, di bangku taman kampus. Ia terlihat anggun. Sangat anggun. Aku berlari kecil menghampirinya.

“Masyaa Allah. Nona. Ke mana aja kamu? Kamu cantik banget”

“Mawar.” Ia menoleh. “kamu benar. Allah gak akan menguji aku di luar batas kemampuanku. Maafkan. Selama ini aku menutup diri sejenak. Aku hanya butuh waktu lebih lama untuk menerima. Terima kasih, Mawar”

Mataku berkaca-kaca. Tak hentinya aku mengucap syukur padaNya.

“Aku tahu berat sekali kamu melakukannya. Sungguh berat. Tapi aku tahu kamu mampu.” Kataku. Aku memeluknya erat.

“Terima kasih atas pelajaran-pelajaran indah yang pernah kau berikan untukku. Karena jika pelajaran-pelajaran indah itu tidak kau berikan, aku tak akan pernah menjadi seperti aku yang sekarang” Nona manis membatin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Bertepi dan Tak Berujung…

AISH HIJAB SYAR'I